Sejarah Periwayatan Hadits
Sejarah Pewarisan hadits
Sejarah Periwayatan Hadits
A. Pengertian
Periwayatan Hadits
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud
dengan al-riwayat adalah kegiatan penyampaian dan penerimaan hadits, serta
penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima periwayatan hadits dari orang
lain namun tidak meriwayatkannya kepada orang lain tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadits.[1]
B. Cara Nabi
Menyampaikan Hadits
Jika kita menelaah berbagai macam hadits
nabi dengan memperhatikan cara Nabi SAW dalam menyampaikannya, maka kita akan
mendapati cara sebagai berikut:
a. Pada majelis-majelis Rasulullah
Rasulullah SAW secara khusus dan teratur
mengadakan majelis-majelis yang berhubungan dengan pengajaran syari'at islam.
Majelis-majelis yang beliau pimpin itu bukan hanya kaum pria saja, tetapi juga
ada yang khusus untuk kaum wanita. Majelis-majelis tersebut tidak hanya
diadakan di mesjid, tetapi juga di
rumah-rumah para sahabat. Selama pengajian tersebut, para sahabat
menerima hadits Nabi SAW, kemudian mereka mengulang kembali pelajaran yang
telah disampaikan oleh Nabi SAW dan menghafalnya. Anas bin Malik r.a
berkata,"Kami berada di sisi Rasulullah SAW, mendengarkan hadits dari
beliau. Apabila telah selesai, maka kami mempelajarinya kembali dan
menghafalnya.[2]
b. Pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
Rasulullah SAW, lalu beliau menerangkan hukumnya
Terkadang ketika terjadi suatu kasus, dan
Rasulullah SAW menyaksikan peristiwa itu, beliaukemudian menjelaskan hal-jhal
yang berhubungan dengan peristiwa tersebut.[3]
c. Pada peristiwa yang dialami oleh kaum
Muslimin, kemudian mereka menanyakan
tentang hukumnya kepada Rasulullah SAW
Terkadang para sahabat mengalami suatu
peristiwa yang berhubungan dengan dirinya dan juga yang berhubungan dengan
orang lain. Kemudian mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW.[4]
d. Pada peristiwa yang disaksikan langsung
oleh para sahabat mengenai apa yang terjadi atau dilakukan oleh Nabi SAW.
Banyak sekali peristiwa yang terjadi atau
yang berhubungan dengan diri Rasulullah SAW, yang disaksikan langsung oleh para
sahabat, misalnya yang berhubungan dengan maslah-masalah inbadah, perjalanan
Rasulullah, keadaannya, sifat-sifatnya, dan lain sebagainya.[5]
C. Periwayatan
Hadits dari Zaman Nabi hingga Zaman sesudah Generasi Sahabat
a. Periwayatan hadits pada zaman Nabi
Hadits yang diterima oleh para sahabat
sangat cepat tesebar di masyarakat.Karena para sahabat sangat bersemangat untuk
memperoleh hadits Nabi dan menyebarkannya kepada orang lain. Hal ini terbukti
dengan dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai
berikut:
'Umar bin Khattab r.a telah membagi tugas
dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi SAW. Kata 'Umar,
bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui
nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau
yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segerqa menyampaikan hal tersebut kepada
yang tidak bertugas. Dengan demikian, sahabat yang tidak sempat hadir bersama
Nabi SAW, juga tetap dapat mengetahui hal-hal yang disampaikan oleh Nabi SAW,
melalui sahabat lain yang mendengarnya.[6]
b. Periwayatan hadits pada zaman sahabat Nabi
Periode kedua sejarah perkembangan hadits
adalah masa sahabat, khususnya masa al-khulafa al-Rasyidin. Masa ini
terhitung sejak wafatnya Nabi Saw pada tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun ke-11
Hijriah,[7]
hingga tahun ke-40 Hijriyah,[8]
yang disebut juga dengan masa sahabat besar. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa
Abu Bakar r.a adalah orang yang pertama kali menunjukkan kehati-hatiannya dalam
menerima khabar yang berkaitan dengan Nabi SAW.[9]
Pada masa ini, perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an yang mana mendapat
prioritas pertama untuk disebarkan keberbagai wilayah dan pelosok masyarakat
islam. Dengan demikian, periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan
masih dibatasi periwayatannya. Oleh karena itu, masa ini dianggap oleh para
ulama sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau meperketat
periwayatan.[10]
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat
tidak lagi menetap di kota Madinah. Mereka menyebar menjelajahi kota-kota lain.
Konsekuensinya, penduduk kota-kota lain pun mulai menerima ajaran islam,
termasuk hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, periwayatan hadits mulai
berkembang di kalangan Tabi'in.[11]
Sebaliknya, periwayatan hadits pada masa
permulaan sahabat masih terbatas sekali. Seseorang yang menerima hadits tidak
harus menyampaikan hadits itu kecuali jika diperlukan. Artinya, jika masyarakat
mengahadpi suatu masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan membutuhkan
penjelasan dari hadits, maka pada saat itu periwayatan hadits dapat dilakukan.[12]
c. Periwatan hadits pada zaman sesudah Tabi'in
dan Tabi'ut-tabi'in
Sebagaimana pada masa sahabat Nabi, pada masa Tabi'in
juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadits. Meskipun
keadaan mereka tidak seberat yang dialami oleh para sahabat, yang mana pada
masa ini, Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi
kekhawatiran akan bercampur dengan hadits-hadits Nabi. Selain itu, pada akhir
periode Khulafaur Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan menghafal
hadits telah benyak menyebar kebeberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini
menimbulkan kemudahan bagi para Tabi'in untuk mempelajari hadits dari mereka.[13]
D. Bentuk dan
Susunan Hadits Nabi dalam Periwayatan
a. Tatacara periwayatan hadits (Tahammul wa
Al-Ada)
Dalam proses periwayatan hadits, ada delapan cara atau
pun metode, yaitu:
1) Sima' (mendengar), yaitu seorang guru membaca
hadits baik dari hafalan maupun dari kitabnya, sementara hadirin mendengarnya,
baik mejelis itu untuk imla' ataupun untuk yang lainnya. Menurut mayoritas
ulama, metode ini berada pada peringkat yang tertinggi. Ada juga yang
berpendapat bahwa mendenga dari seorang guru disertai dengan menuliskannya
lebih tinggi daripada mendengar saja tanpa menulisnya. Sebab sang guru sibuk
membacakan hadits, sementara murid menulisnya. Sehingga keduanya lebih
terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada
penerimaan setelah imla'. Dan mendengar dalah cara yang mula-mula ditempuh oleh
seorang periwayat hadits.[14]
2) Qira'ah 'ala
al-Syaikh (membaca
dihadapan seorang guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-'aradh
(penyodoran). Ada juga yang menyebutnya 'ardh al-qi'ra'ah (menyodorkan
bacaan), karena di dalam konteks ini, seorang murid menyodorkan bacaannya
kepada gurunya. Maksudnya, seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari
hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti, sedangkan guru
memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalannya ataupun dari naskah
asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti.[15]
3) Ijazah,yaitu sertifikasi atau rekomendasi.
Ini merupakan metode tahammul yang baru dan berbeda dengan kedua metode di
atas. Namun masih tetap pada batas pemberian kewenangan seorang guru untuk
meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau
beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang
telah diijazahkannya. Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode
ijazah, kecuali untuk kalangan tertentu dari para pengikut ulama hadits yang
berstatus tsiqah, dan hadits yang di ijazahkan juga tidak lebih dari beberapa
hadits atau juz atau kitab.[16]
4) Al-Munawalah,
yaitu seorang ahli hadits memberikan sebuah
hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid
meriwayatkannya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab hadits
kepada seorang muridnya seraya berkata,"Inilah hadits-haditsku atau inilah
riwayat yang kudengar," tanpa mengatakan," Riwayatkanlah dariku, atau
atau ku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku." Sebagian ulama
membolehkan metode ini dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Munawalah
yang paling tinggi statusnya adalah Munawalah yang disertai dengan ijazah.[17]
5) Al-Mukatabah,
maksudnya yaitu seorang menulis dengan
tangannya sendiri atau meninta orang lain untuk menulis sebagian haditsnya
untuk seorang murid yang ada dihadapannya ataupun murid yang ada di tempat yang
lain lalu guru tersebut mengirimkan hadits-hadits tersebut kepada muridnya
tersebut. Dalam hal ini, Mukatabah terbagi menjadi, yaiut yang disertai dengan
ijazah, dan yang tidak disertai dengan ijazah.[18]
6) I'lam
al-Syaikh, maksudnya
yaitu seorang syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits atau kitab
tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya
atau diambilnay dari seseorang. Tanpa menyatakan pemberian ijazah secara jelas
untuk meriwayatkan darinya. Sebagian ulama berpendapat bahwa metode semacam itu
harus disertai dengan ijazah agar periwayatan darinya bisa berstatus shahih.[19]
7) Al-Washiyyah,
maksudnya yaitu seorang guru berwasiat
sebelum bepergian jauh atau meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada
seseorang untuk diriwayatkan darinya. Bentuk merupakan bentuk tahammul yang
amat langka.[20]
8) Al-Wijadah, yaitu ilmu yang diambil atau didapat dari
shahifah tanpa adanya proses mendengar,mendapatkan ijazah, ataupun proses
munawalah. Misalnya, ada seseorang yang menemukan hasil tulisan orang yang
semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisan tersebut, baik ia pernah
bertemu ataupun tidak, baik orang itu semasa ataupun tidak, akan tetapi ada
bukti mengenai kebenaran penisbatan-penisbatan yang ada dalam kitab tersebut,
serta kitab tersebut merupakan kitab yang populer.[21]
Pada masa klasik, periwayatn dengan metode ini amat
langka, karena yang diutamakan pada masa klasik adalah sima', bahkan ada
menilai bahwa periwayatan yang hanya melaui kitab merupakan periwayatn yang
dhai'f.[22]
b. Susunan hadits Nabi dalam periwayatan
Dalam menyampaikan hadits Nabi, para sahabat
menggunakan dua macam cara, yaitu:
1) Dengan lafaz asli, atau secara lafziah.
Yaitu, menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi secara langsung. Para sahabat
dapat melaksanakan cara ini, karena selain kekuatan hafalan dan ingatannya,
juga setelah menerima hadits dari Nabi SAW, mereka dapat mempelajari dan
mengulanginya dengan penuh ketaatan dan konsentrasi. Semua sahabatmenginginkan
periwatannya dengan lafaz, bukan dengan maknanya. Periwayatan hadits secara lafziah
ini, tentu saja untuk hadits jyang berbentuk qauliyah (perkataan) Nabi
saja. Sedangkan untuk hadits yang bersifat fi'liyah (perbuatan) dan taqririyah
(keterapan) tidak dapat disampaikan dengan cara ini.[23]
2) Dengan makna saja (ma'nawiyah).
Yaitu, hadits tersebut disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan maknanya
saja, tidak menurut lafaz-lafaz yang seperti yang diucapkan oleh Rasul. Jadi,
redaksinya disusun oleh para sahabat, sedangkan isinya berasal dari Nabi SAW.
Oleh karena itu, sangat banyakhadits Nabi SAW yang mempunyai maksud yang sama,
namun matannya berbeda.[24]
*****
Ikhtisar
-
Periode perkembangan periwayatan hadits ditinjau dari
segi sejarah terbagi pada tiga masa, yaitu masa Nabi, masa sahabat, dan masa
tabi'in dan tabi'ut tabi'in .
-
Pada zaman Nabi SAW, periwayatan hadits berlangsung
secara lisan serta belum mendapat prioritas karena masih turunnya ayat-ayat
suci Al-Qur'an.
-
Pada zaman sahabat, periwayatan hadits hanya dilakukan
jika ada suatu masalah yang memerlukan hadits dalam penjelasannya, karena adanya
syarat yang sangat ketat dalam meriwayatkan hadits.
-
Pada zaman tabi'in dan tabi'ut tabi'in, periwayatan
hadits mulai mendapat perhatian yang serius, karena mulai bermunculannya para
pemalsu hadits.
-
Nabi SAW menyampaikan hadits pada berbagai peristiwa,
tempat dan waktu. Di antaranya, yaitu: majelis rutin di mesjid, majelis di
rumah-rumah sahabat, peristiwa yang dialami oleh Nabi bersama sahabat,
peristiwa yang hanya dialami oleh sahabat, menjawab pertanyaan sahabat, dan peristiw-peistiwa
lainnya.
-
Periwayatan hadits dilakukan dengan berbagai macam
cara, yaitu: sima' (mendengar langsung dari seorang guru), Qira'ah
'al syaikh (membaca di hadapan guru), Ijazah (rekomendasi dari
guru), Munawalah, I'lam Syaikh, Mukatabah,Washiyah dan Wijadah.
-
Dalam periwayatan hadits, terdapat dua macam susunan
hadits, yaitu secara lafziyah dan secara maknawiyah.
Daftar Pustaka
An-Nadwi, 'Ali al-Hasan. Sirah Nabawiyah.Yogyakarta:
Mardhiyah Press,2008.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaidah Keshahihan
Sanad Hadits.Jakarta: Bulan-Bintang , 2005.
Pettalongi, H.M Noor Sulaiman. Antologi
Ilmu Hadits.Jakarta: Gaung Persada Press,2008.
Adz-Dzahabi. Tazkiratul Huffazh. Maktabah
Syamilah. t.th
Posting Komentar untuk "Sejarah Periwayatan Hadits"