Keikhlasan Di Jalan Dakwah
Kajian Kitab Riyadhush-Shalihin Bagian 1
Bismillahirrahmanirrahim……….
Imam Nawawi rahimahullah memulai kitab
Riyadhush-Shalihinnya dengan bab Ikhlas, dengan mencantumkan ayat-ayat berikut:
Ayat ke-1
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"Dan tidaklah mereka diperintahkan (untuk beribadah),
kecuali hanya untuk menyembah Allah dengan ikhlas, untuk menjalankan agama yang
hanif, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang kokoh."
(Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menuntut pelaksanaan segala bentuk
ketaatan dan kebajikan dilaksanakan hanya untuk Allah SWT, demikian pula dengan
aktivitas dakwah yang terkadang menghadapkan seorang dai pada pilihan-pilihan
yang menguji tingkat keikhlasannya. Mulai dari berkorban waktu, tenaga, harta,
dan bahkan nyawa, semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya rasa
keikhlasan yang mendasarinya. Hanya dengan dai-dai yang ikhlaslah agama yang
kokoh itu dapat ditegakkan, syariat suci itu dapat direalisasikan, yang
dengannya umat ini tidak akan mudah hanyut dengan fitnah-fitnah yang
dihembuskan oleh musuh-musuhnya.
Sebaliknya, jika keikhlasan para aktivis
dakwah telah hilang, maka tegaknya agama yang kokoh itu hanya sebuah mimpi yang
entah kapan akan terwujud. Selain itu, setitik saja ketidak ikhlasan terbetik
dalam hati para aktivis dakwah, maka hal sudah cukup untuk menjadi alasan
tercabutnya keberkahan dari dakwah yang mereka perjuangkan.
Dalam menjelaskan makna kalimat al-Din
al-Qayyimah, Imam Ibnu Zaid mengatakan bahwa maknanya adalah al-mustaqimah
al-mu`tadilah yaitu agama yang benar-benar lurus meskipun dilihat dari
berbagai segi, baik dilihat dari vertical ataupun horizontal.
Ayat ke-2
Jika yang dituntut dalam surat al-Bayyinah di
atas adalah keikhlasan seorang dai dalam mengemban amanah-amanah dakwahnya,
maka pada ayat berikut yang dituntut dari seorang dai adalah buah dan bukti
nyata keikhlasannya untuk beraktivitas di jalan dakwah, yaitu dengan
mempersembahkan hal terbaik yang paling dicintai dan dimilikinya, untuk
kemaslahatan dakwah.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
"Sekali-kali kalian tidak akan sampai kepada kebaikan yang
sempurna, hingga kalian menginfaqkan sebagian harta yang kalian cintai, dan
tidaklah kalian menginfaqkan sesuatu, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya" (Ali-Imran:92)
Imam Ibnu Jarir menyatakan dalam tafsirnya
bahwa makna kata al-Birr dalam ayat ini adalah kebaikan yang sebenarnya
atau yang sempurna. Yaitu kebaikan yang ingin dicapai oleh orang-orang beriman
dengan ketaatan mereka, yang dengannya mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan
dijauhkan dari api neraka.
Dengan ayat ini pula dapat difahami bahwa tidaklah
seorang mu'min khususnya seorang dai sampai pada tingkatan militansi tertinggi,
hingga ia dihadapkan pada ujian dakwah yang akan memintanya untuk mengorbankan
sesuatu yang sangat dicintainya untuk dakwah.
Ayat ke-3
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ
التَّقْوَى مِنْكُمْ
"Sekali-kali tidaklah sampai kepada Allah daging dan darahnya
(dari hewan-hewan yang kalian korbankan untuk Allah), akan tetapi yang sampai
kepada Allah adalah ketaqwaan kalian." (Al-Hajj:37)
Hakikat dari pengorbanan yang Allah SWT nilai
dari seorang penggerak dakwah bukanlah pada zatnya, namun Allah SWT letakkan
pada besar atau tidaknya ketaqwaan yang menjadi kekuatan utama pendorong
seorang dai melaksanakan tugas dan amanah dakwahnya.
Sebab, tanpa ketaqwaan, jalan yang panjang
dan terjal ini tidak akan mungkin terlewati.
Ayat ke-4
Tidak hanya ujian yang berbentuk kesengsaraan yang ada di jalan
dakwah ini, namun terdapat juga ujian yang bentuknya lain, yaitu dengan
bentuknya berbagai kemenangan dan kelapangan yang terbuka di berbagai medan dan
lini dakwah.
Hal ini kemudian secara tidak sadar terkadang membuat seorang dai
menjadi tergeser orientasi dakwahnya, terbeli komitmen perjuangannya dengan
sesuatu yang bernama jabatan, harta, atau apapun bentuknya dari kesenangan
duniawi. Inilah yang disinggung oleh Allah SWT dalam ayat-Nya:
قُلْ إِنْ
تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
"Katakanlah, jika kalian menyembunyikan apa yang ada di
dalam hati kalian, ataupun menyatakannya, Allah mengetahuinya." (Ali-Imran:29)
Tidak ada hal lain yang menjadi obesesi utama
di jalan ini selain apa-apa yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya, dan
itulah komitmen tertinggi yang harus senantiasa terjaga dan tertanam kokoh di
lubuk hati seorang mujahid dakwah.
Khadim Al-Qur'an wa As-Sunnah
Aswin Ahdir Bolano
Posting Komentar untuk "Keikhlasan Di Jalan Dakwah"