Madzhab-Madzhab Islam Mengenai Asma dan Sifat Allah
Mazhab dan Sifat Allah
Madzhab-Madzhab Islam Mengenai Asma dan Sifat Allah
Bismillahirrahmanirrahim……
Segala puji bagi Allah SWT, kita memuji-Nya, memohon pertolongan
kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya atas segala khilaf yang telah kita
lakukan. Shalawat serta salam untuk junjungan kita Rasulullah SAW. Dan juga
kepada keluarga serta sahabat-sahabat beliau.
Mengesakan Allah SWT dalam Rububiyah dan uluhiyah yang dikuatkan
dengan mempelajari berbagai madzhab islam yang berkaitan dengan Asma dan
sifat-sifat Allah SWT dan juga mengikuti madzhab salaf adalah bagian dari masalah-masalah
penting yang harus dikuasai oleh seorang aktivis dakwah. Hal ini karena sangat
banyak ditemukan di tengah-tengah umat ini berbagai faham yang tidak berdasar
dan sangat menyimpang jauh dari Al-Qur'an dan sunnah dalam masalah ini.
Selain hal itu, terbatasnya kemampuan umat untuk mengakses
referensi-referensi dan karya tangan para ulama yang menjadi sumber penjelas
masalah-masalah tersebut menjadi bagian masalah lain pula yang harus ditemukan
solusinya. Oleh karena itu, atas dasar kedua masalah ini, ana menyusun karya
tulis ringkas ini dengan tujuan agar para aktivis dakwah dapat mengambil
manfaat darinya, sehingga mereka dengan mudah memberikan penjelasan dan
pencerahan kepada umat ini dalam masalah-masalah di atas…Wallahul-Musta`an
Berkaitan dengan Asma dan sifat-sifat Allah SWT, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat Allah
Ta'ala, tanpa ta'thil, tamtsil, tahrif, dan takyif.
Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash
Al-Qur'an dan Al-Hadits.
1. Tahrif; secara bahasa berarti merubah dan mengganti. Menurut
pengertian syar'i berarti: merubah lafazh Al-Asma'ul Husna dan Sifat-sifat-Nya
Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya. Tahrif ini dibagi menjadi dua:
1) Pertama:
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa istawa Adalah istaula. Disini ada penambahan huruf lam. Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, "Hinthah ketika mereka diperintah untuk mengatakan "Hiththah" Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid'ah yang memanshubkan[6] lafazh Allah dalam ayat :
Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh. Contohnya adalah ucapan kaum Jahmiyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa istawa Adalah istaula. Disini ada penambahan huruf lam. Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, "Hinthah ketika mereka diperintah untuk mengatakan "Hiththah" Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid'ah yang memanshubkan[6] lafazh Allah dalam ayat :
وَكَلَّمَ
اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً
"Artinya : Dan Allah berbicara kepada Musa dengan
langsung."[An-Nisa' : 164].
2) Tahrif dengan Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid'ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in'am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni'mah (nikmat).
2) Tahrif dengan Merubah makna. Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya. Contohnya adalah perkataan Ahli Bid'ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in'am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni'mah (nikmat).
2. Ta'thil; secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian
syar'i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari
Allah Ta'ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau
mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta'thil yaitu :
ta'thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an
dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur'an dan
As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
Ta'thil
ada bermacam-macam.
[a]. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya
yang suci, dengan cara meniadakan Asma' dan Sifat-sifat-Nya, atau sebagian
dari-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan
Mu'tazilah.
[b].
Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara
meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan
cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
[c]. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
[c]. Meniadakan pencipta bagi makhluk. Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
Jadi,
setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta'thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta'thil
melakukan tahrif. Siapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan
suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif
sekaligus pelaku ta'thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu'athil (pelaku ta'thil), tetapi bukan muharif
(pelaku tahrif).
3.
Takyif; artinya
bertanya dengan kaifa (bagaimana). Adapun yang dimaksud
takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan
menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan
bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam
sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab.
Inilah paham yang dianut oleh kaum Salaf, sebagaimana dituturkan
oleh Imam Malik Rahimahullahu Ta'ala ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa',
-bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab : "Istiwa'
itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui,
mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya adalah bid'ah."
Semua
sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan
menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi
kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut
maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap
makna-maknanya.
4. Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang
menyerupai Allah Ta'ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi'liyah-Nya. Tamtsil
ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama, Menyerupakan
makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang
menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta'ala dan orang-orang Yahudi
yang menyerupakan 'Uzair dengan Allah pula. Maha Suci
Allah dari itu semua.
Kedua, Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai
wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran
sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan
sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan
lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah
madzhab kaum salaf Rahimahumullah Ta'ala. Mereka beriman kepada apa saja yang
disampaikan oleh Allah mengenai diri-Nya di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wassalam dengan keimanan yang bersih dari tahrif dan ta'thil
serta dari takyif dan tamtsil. Mereka menyatukan pembicaraan mengenai
sifat-sifat Allah dengan pembicaraan mengenai Dzat-Nya, dalam satu bab.
Pendapat mereka mengenai sifat-sifat Allah sama dengan pendapat mereka mengenai
Dzat-Nya. Bila penetapan Dzat adalah penetapan tentang keberadaannya, bukan
penetapan tentang bagaimananya, maka seperti itu pulalah penetapan sifat.
Menurut mereka, wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah
ditegaskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau oleh salah satu dari keduanya.
Nama-nama dan sifat-sifat tersebut wajib diimani sebagaimana yang disebutkan
dalam nash, tanpa takyif, wajib diimani berikut makna-makna agung yang
terkandung didalamnya yang merupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Wajib
mensifati Allah dengan makna sifat-sifat tersebut, dengan penyifatan yang layak
bagi-Nya, tanpa tahrif, ta'thil, takyif, atau tamtsil.
Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak
mengkiaskan Allah dengan makhluk-Nya, karena mereka tidak memperbolehkan
penggunaan berbagai kias (analogi) yang mengandung konsekuensi penyerupaan dan
penyamaan antara apa yang dikiaskan dengan apa yang menjadi obyek pengkiasan
dalam masalah-masalah Ilahiyah. Karena itu mereka tidak menggunakan kias,
tamtsil dan kias syumul/ menyeluruh terhadap Allah Ta'ala. Terhadap Allah SWT
mereka menggunakan kias aula/ yang lebih utama. Inti kias ini adalah bahwa
setiap kesempurnaan yang terdapat pada makhluk, tanpa kekurangan dipandang dari
berbagai segi, maka Al-Khaliq lebih layak untuk memilikinya, sebaliknya setiap
sifat kekurangan dihindari oleh makhluk, maka Al-Khaliq lebih layak untuk
terhindar darinya.
Bolano
(Sulawesi Tengah), 20 Oktober 2013 Pkl.14.32 WITA
Khadim
Al-Qur'an wa As-Sunnah
Aswin Ahdir
Bolano
*Referensi : Aqidah al-Wasithiyah
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan ta`liq oleh Syaikh Asy-Syaarih Sa`id
bin `Ali bin Wahf al-Qahthaniy dan kompilasi file CHM oleh Abu `Abdirrahman
Muhammad Taufiq.
*Muwashafat Materi:
Salimul-`Aqidah/Muayyid/Manhaj 1434 Hijriyah.
Posting Komentar untuk "Madzhab-Madzhab Islam Mengenai Asma dan Sifat Allah"