Fiqih Ibu Hamil 1 (Thaharah & Sholat)
Bismillahirrahmanirahrim………………….
Segala puji bagi Allah swt. Yang masih memberikan kita kecintaan
kepada agama dan syariat-Nya. Shalawat dan salam untuk nabi Muhammad saw.
Sebagai nabi yang menjadi panutan dan contoh bagi setiap muslim.
Ibu hamil
pada bulan-bulan awal kehamilannya akan mengalami berbagai hal berikut :
- Mual dan muntah
sepanjang 3 bulan pertama kehamilan;
- Pusing
kepala;
- Mengantuk
dan ingin tidur disebagian besar waktunya;
- Dingin
berlebih dan tidak suka bersentuhan dengan air; dan masih banyak gejala lain
yang berbeda antara satu wanita dengan wanita lainnya.
Sebagai seorang muslimah, tentunya
hal-hal tersebut akan menjadi kesulitan tersendiri ketika melaksanakan berbagai
ibadah yang disyariatkan kepadanya. Oleh karena itu, berikut ini akan kami bahas berbagai keringanan hukum bagi ibu
hamil dalam berbagai ibadah khususnya bersuci dan sholat.
1)
Mengurangi basuhan wudhu dari 3x menjadi 1x pada tiap anggota wudhu;
Jika seorang wanita hamil mampu
berwudhu dengan air, namun tidak mampu menggunakan air banyak untuk 3x basuhan
seperti biasanya, maka ia boleh mengurangi jumlah basuhan pada anggota wudhunya
menjadi masing-masing 1x. Hal ini juga berlaku untuk orang-orang yang terkena
penyakit demam, suhu badan panas tinggi, dan lain-lain. Hal ini pernah
dilakukan oleh nabi saw. Meskipun dalam keadaan tidak sakit.
“Dari Muhammad bin Yusuf, Sufyan menceritakan
kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata :”Nabi saw pernah berwudhu dengan basuhan 1x 1x.”
(Shahih. Imam al-Bukhari.no.157)
2) Mengganti
wudhu’ dengan tayamum
Jika seorang wanita hamil tidak
mampu atau merasa sangat dingin jika terkena air, maka ia dibolehkan mengganti
wudhunya dengan tayamum. Tatacara tayamum yang benar adalah sebagai berikut: Pertama;
Mencari debu yang suci. Biasanya ditemukan di dinding rumah, kaca lemari hias,
dan tempat-tempat berdebu lainnya. Kedua; Mengusap atau menekankan kedua
belah telapak tangan pada permukaan debu tersebut. Ketiga; menipiskan
debu yang telah menempel pada kedua tangan dengan cara meniup atau mengibaskan
tangan. Keempat; mengusap wajah sekali usap. Kelima; mengambil
debu kembali dan mengusapkannya pada punggung dan telapak tangan kanan dan kiri
dengan masing-masing sekali usap sampai pergelangan tangan. (Shahih. Imam
al-Bukhari.no.334 s/d 348)
Adapula pendapat yang menyebutkan
bahwa bertayamum itu mengusap wajah, dan mengusap tangan sampai siku. Hal ini
disebutkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya. (al-Muwaththa’.no.123-124)
Silahkan untuk menggunakan salah satu dari kedua pendapat di atas.
3) Mengganti
mandi junub dengan tayamum
Kehamilan yang berlangsung selama 9
bulan, tentunya membuat suami istri melalui masa-masa yang sangat sulit untuk
melakukan hubungan suami istri. Salah satu faktor yang menjadi kesulitan
tersebut adalah ketika istri harus mandi wajib dalam kondisi yang ia sendiri
sangat tidak suka dengan air dingin. Ditambah lagi jika hubungan suami istri
berlangsung di malam dari dan mengharuskan suami istri mandi junub sebelum
waktu subuh. Dalam kondisi seperti ini, dengan menimbang kondisi istri yang
berada dalam keadaan hamil, maka ia dibolehkan untuk mengganti mandi junubnya
dengan tayamum.
Hal ini
disebutkan oleh Al-Qur’an :
“….Jika kamu
junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit, atau dalam
perjalanan, atau kembali dari tempat buang air, atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci). (al-Maidah 5:6)
Dalam
ayat di atas, ada dua kondisi yang menjadikan wanita hamil memenuhi syarat
untuk mengganti mandi junub dengan tayamum, yaitu kondisi sakit dan junub setelah
berhubungan suami istri. Sebab, maksud menyentuh perempuan dalam ayat di atas
adalah setelah selesai berhubungan suami istri.
4) Sholat
dalam keadaan duduk ataupun berbaring
Jika seorang ibu hamil ingin
melaksanakan sholat secara sempurna seperti biasanya, maka ia boleh sholat
dengan cara duduk, lalu ruku’ dengan membungkukkan badan, dan sujud seperti
biasanya. Atau dapat pula sholat dengan cara duduk, lalu ruku’ dan sujud hanya
dengan membungkukkan badan sebagai isyarat ruku’ dan sujud. Yaitu membungkukkan
badan sedikit untuk ruku’ dan lebih membungkukkan badan lagi untuk sujud.
Atau jika masih tetap kesulitan, maka ia boleh melaksanakan sholat
dengan cara berbaring pada posisi terlentang, kaki menjulur ke arah kiblat dan
bantal sedikit ditinggikan, agar wajah bisa menghadap ke arah kiblat. Kemudian
ia sholat dengan posisi berbaring tersebut, dengan ruku’ dan sujud menggunakan
isyarat menundukkan wajah. Hal ini disebutkan dalam hadits :
“Dari Abdan, dari Abdullah, dari Ibrahim bin Thahman, al-Husain
al-Muktib menceritakan kepadaku, dari Ibnu Buraidah, dari Imran bin Hushain radhiyallahu
‘Anhu, bahwa ia pernah mengalami penyakit bawasir, maka ia bertanya kepada
nabi saw. Tentang tatacara sholat. Beliau saw. Bersabda,”Sholatlah berdiri,
jika engkau tidak mampu maka sholatlah dalam keadaan duduk, jika engkau tidak
mampu pula maka sholatlah dalam keadaan berbaring.” (Shahih. Imam
al-Bukhari.no.1117)
5)
Menggabungkan dan meringkas dua waktu sholat
Jika seorang ibu hamil mengalami
rasa sakit yang memaksanya untuk terus berbaring, sebagaimana yang dialami oleh
sebagian wanita, maka dibolehkan baginya untuk menggabungkan dua waktu sholat
sekaligus, sebagaimana yang biasa dilakukan ketika dalam perjalanan. Hal ini
sebagai keringanan terhadap penyakitnya. Hal ini juga berlaku bagi berbagai
keperluan dan hal-hal yang mendesak lainnya, meskipun tidak sedang dalam
perjalanan, maupun tidak dalam keadaan sakit.
“Yahya bin
yahya menceritakan kepada kami. Ia berkata : Saya membacakan hadits kepada Imam
Malik, dari Abu Zubair, dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas
berkata : Rasulullah saw. Pernah sholat dengan menggabungkan Zhuhur dengan
ashar, dan menggabungkan magrib dengan isya, padahal saat itu tidak dalam
keadaan takut, dan tidak juga dalam perjalanan. (Shahih. Imam Muslim.no.705)
Berkaitan dengan hadits di atas,
Abu Az-Zubair bertanya kepada Said bin Jubair mengapa nabi saw. Melakukan hal
itu ? Said bin Jubair menjawab : Saya bertanya kepada Ibnu Abbas seperti
pertanyaanmu kepadaku, Ibnu Abbas menjawab : Nabi saw. Tidak ingin memberatkan
seorangpun di antara umatnya. (Shahih Muslim.hlm.490)
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkomentar : Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, al-Qadhi Husain, Imam
al-Khathabi, Imam al-Mutawali dan Imam al-Ruwayani berpendapat bahwa hadits
diatas berkaitan dengan kondisi sakit dan semisalnya, dari berbagai bentuk
udzur syar’i. (Shahih Muslim Bi Syarah an-Nawawi.hlm.302)
Anutapura, 8
September 2018/28 Dzulhijjah 1439 H, Pkl.00.35 Dini Hari W.I.T.A
Khadim
Al-Qur’an wa As-Sunnah
Aswin Ahdir
Bolano, S.Ud
*Alumni
Tafsir & Hadits UIN Sunan Gunung Djati Bandung
*Ketua Umum
LDK LDM UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2012
Posting Komentar untuk "Fiqih Ibu Hamil 1 (Thaharah & Sholat)"