Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

69 Aturan Pernikahan Islam dan Undang-Undang | Kompilasi Hukum Islam

 BUKU I

HUKUM PERKAWINAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :

a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara

seorang pria dengan seorang wanita,

b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;

c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh

mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;

d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang

dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan

tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;

f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

g. Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;

h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu

perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai

kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;

j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang dan lainnya.

Aturan, Pernikahan, Dalam Islam, Undang-Undang, Kitab Kompilasi Hukum Islam, Kemenag,


BAB II

DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2

Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan

ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32

Tahun 1954.

* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.

Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal    7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang

berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,

wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan

Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal 9

(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat

dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.

(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh

Pegawai Pencatat Nikah.

BAB III

PEMINANGAN

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh,

tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang

untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan

peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai

dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling

menghargai.

BAB IV

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu

Rukun

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua

Calon Mempelai


Pasal 15


(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon

mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun

1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya

berumur 16 tahun

(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana

yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.


Pasal 16


(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan

tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang

tegas.


Pasal 17


(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu

persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu

tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan

dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.


Pasal 18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan

perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.


Bagian Ketiga

Wali Nikah


Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita

yang bertindak untuk menikahkannya


Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam

yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari :

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu

didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon

mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah

dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan

keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah

dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan

laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak

menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat

kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali

nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung

atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan

mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.


Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau

oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali

bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.


Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak

mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau

enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.


Bagian Keempat

Saksi Nikah


Pasal 24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi


Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil

baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.


Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta

Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.


Bagian Kelima

Akad Nikah


Pasal 27

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang

waktu.

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah

mewakilkan kepada orang lain.


Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan

calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas

akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad

nikah tidak boleh dilangsungkan.


BAB V

MAHAR


Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk

dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.


Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran

Islam.


Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.


Pasal 33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk

seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon

mempelai pria.


Pasal 34

(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya

perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya

perkawinan.


Pasal 35

(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah

ditentukan dalam akad nikah.

(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka

sumai wajib membayar mahar mitsil.


Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama

bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai

dengan harga barang mahar yang hilang.


Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian

diajukan ke Pengadilan Agama.


Pasal 38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap

bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.

(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan

mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih

belum dibayar.




BAB VI

LARANGAN KAWIN


Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

(1) Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;

b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan

perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;

d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.


Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan

tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.


Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan

pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi

masih dalam masa iddah.


Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut

sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau

masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan

sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.


Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :

a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;

b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria

lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.


Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak

beragama Islam.


BAB VII

PERJANJIAN PERKAWINAN


Pasal 45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :

1. Taklik talak dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.


Pasal 46

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan

sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan

persoalannya

ke pengadilan Agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi

sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat

perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam

perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta

pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan

kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta

bersama atau harta syarikat.

Pasal 48

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka

perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan

rumah tangga.

(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap

tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung

biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing

ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa

percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga

percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung

mulai

tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan

wajib

mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan

(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak

ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam

suatu surat kabar setempat.

(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,

pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah

diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan

nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh

doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan

dinikahinya itu.


BAB VIII

KAWIN HAMIL

Pasal 53

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa

menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang

setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga

boleh bertindak sebagai wali nikah.

(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram

perkawinannya tidak sah.


BAB IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG


Pasal 55

(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

(2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri

dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri

dari seorang.


Pasal 56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara

sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan

Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.


Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari

seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.


Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan

Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1

Tahun 1974 yaitu :

a. adanya pesetujuan isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak

mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,

persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun

telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada

sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau

isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam

perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun

atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.


Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari

satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan

Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang

bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat

mengajukan banding atau kasasi.


BAB X

PENCEGAHAN PERKAWINAN


Pasal 60

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum

Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan

melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan

menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.

Pasal 61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu

karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.


Pasal 62

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan

lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan

pihak-pihak yang bersangkutan

(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak

kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.


Pasal 63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam

perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan

melangsungkan perkawinan.


Pasal 64

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila

rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.


Pasal 65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana

perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan

dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.


Pasal 66

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.


Pasal 67

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada

Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.


Pasal 68

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan

perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9,

pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan

perkawinan.


Pasal 69

(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut

Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan

oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut

disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan

berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan

tersebut diatas.

(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan

ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya

perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan

tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang

maksud mereka.




Posting Komentar untuk "69 Aturan Pernikahan Islam dan Undang-Undang | Kompilasi Hukum Islam"

Buku sejarah 25 Nabi Balita