Ini Arti Bid’ah Menurut Para Ulama, Banyak Yang Salah Paham | Ceramah Ust.Abdul Somad Lc.M.A
Hadits Pertama:
Dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata, “Ketika Rasulullah Saw menyampaikan khutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan ia seorang pemberi peringatan pada pasukan perang, Rasulullah Saw bersabda, “Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang”. Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi, “Aku diutus, hari kiamat seperti ini”. Rasulullah Saw mendekatkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah Saw berkata lagi, “Amma ba’du (adapun setelah itu), sesungguhnya sebaik-baik cerita adalah kitab Allah (al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu dhalalah (sesat)”. (HR. Muslim).
Hadits Kedua:
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah, ia berkata, “Rasulullah Saw suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah shalat Shubuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, “Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw menjawab, “Aku wasiatkan kepada kamu agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup dari kamu akan melihat banyak pertikaian. Jauhilah perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat itu dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang mendapat hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Makna Bid’ah
Pendapat Imam asy-Syathibi:
Bid’ah adalah Suatu cara/kebiasaan dalam agama Islam, cara yang dibuat-buat, menandingi syariat Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah Swt.
*Imam Asy-Syahthibi adalah Imam Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi (Granada-Spanyol). Populer dengan nama Imam asy-Syathibi. Ahli Ushul Fiqh, dari kalangan Mazhab Maliki. Diantara kitab karya beliau adalah: al-Muwafaqat dan al-I’tisham (dalam bidang Ushul Fiqh), al-Majalis (Syarh kitab al-Buyu’ dari Shahih al-Bukhari), al-Ifadat wa al-Insyadat (dalam bidang sastra Arab), Ushul an-Nahwi (dalam bidang gramatikal bahasa Arab).
Definisi lain, Bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama Islam, cara yang dibuat-buat, menandingi syariat Islam, tujuan melakukannya seperti tujuan melakukan cara dalam syariat Islam. (Imam asy-Syathibi, al-I’tisham, juz.I, hal.21.)
Pendapat Imam al-‘Izz bin Abdissalam:
Bid’ah adalah perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw.
*(Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz.II (Beirut: Dar al-Ma’arif), 172.)
Pendapat Imam an-Nawawi:
Para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua perbuatan yang dilakukan, tidak pernah ada contoh sebelumnya.
*(Imam an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, juz.VI (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, 1392H), hal.155.)
Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
Segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, apakah itu terpuji ataupun tercela.
*Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.XIII, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), hal.253.
Semuanya sepakat bahwa bid’ah ada perkara yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan atau dilakukan Rasulullah Saw.
Bid’ah Tidak Bisa Dibagi. Benarkan?
Seperti yang disebutkan para ulama di atas, semua sepakat bahwa Bid’ah adalah apa saja yang tidak ada pada zaman Rasulullah Saw. Jika demikian maka mobil adalah bid’ah, maka kita mesti naik onta. Tentu orang yang tidak setuju akan mengatakan, “Mobil itu bukan ibadah, yang dimaksud Bid’ah itu adalah masalah ibadah”. Dengan memberikan jawaban itu, sebenarnya ia sedang membagi bid’ah kepada dua: bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah. Bid’ah urusan dunia, boleh. Bid’ah dalam ibadah, tidak boleh.
Kalau bid’ah bisa dibagi menjadi dua; bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah,
mengapa bid’ah tidak bisa dibagi kepada bid’ah terpuji dan bid’ah tercela?!
Oleh sebab itu para ulama membagi bid’ah kepada dua, bahkan ada yang membaginya menjadi lima. Berikut pendapat para ulama, sebagiannya berasal dari kalangan Salaf (tiga abad pertama Hijrah):
Pembagian Bid’ah Menurut Imam Syafi’i (150 – 204H):
Imam Syafi’i berkata,
“Bid’ah itu terbagi dua: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela).
Jika sesuai dengan Sunnah, maka itu Bid’ah Mahmudah.
Jika bertentangan dengan Sunnah, maka itu Bid’ah Madzmumah
Disebutkan oleh Abu Nu’aim dengan maknanya dari jalur riwayat Ibrahim bin al-Junaid dari Imam Syafi’i.
*Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.XIII, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), hal.253.
Kriteria Pembagian Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela)
Menurut Imam Syafi’i:
Juga dari Imam Syafi’i, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Manaqib Imam Syafi’i, “Bid’ah itu terbagi dua:
Perkara yang dibuat-buat, bertentangan dengan al-Qur’an, atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijma’, maka itu Bid’ah Dhalal (bid’ah sesat)
Perkara yang dibuat-buat, dari kebaikan, tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka itu Bid’ah Ghair Madzmumah (bid’ah tidak tercela).
*Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.XIII, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), hal.253.
Kretria Pembagian Bid’ah Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebut dua kali dengan dua istilah berbeda:
Pertama: Bid’ah Hasanah – Bid’ah Mustaqbahah – Bid’ah Mubah.
Berdasarkan penelitian, jika bid’ah itu tergolong dalam perkara yang dianggap baik menurut syariat Islam, maka itu disebut Bid’ah Hasanah.
Jika tergolong dalam sesuatu yang dianggap buruk menurut syariat Islam, maka itu disebut Bid’ah Mustaqbahah (bid’ah buruk).
Jika tidak termasuk dalam kedua kelompok ini, maka termasuk Mubah.
*Fathul Barri Juz.IV, hal.253.
Kedua, Bid’ah Hasanah – Bid’ah Dhalalah – Bid’ah Mubah
Jika perbuata itu sesuai dengan Sunnah, maka itu adalah Bid’ah Hasanah.
Jika bertentangan dengan Sunnah, maka itu adalah Bid’ah Dhalalah.
Itulah yang dimaksudkan. Oleh sebab itu bid’ah dikecam.
Jika tidak sesuai dengan Sunnah dan tidak pula bertentangan dengan Sunnah,
maka hukum asalnya adalah Mubah.
*Fathul Barri Jilid 1 hal.85.
Dasar Pembagian Bid’ah Menurut Imam an-Nawawi:
Hadits yang berbunyi, “Semua perkara yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah itu sesat”.
Hadits ini bersifat umum. Dikhususkan oleh hadits lain yang berbunyi:
“Siapa yang membuat tradisi yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan balasan pahalanya”.
Yang dimaksud dengan bid’ah dhalalah dalam hadit pertama adalah:
Perkara diada-adakan yang batil dan perkara dibuat-buat yang tercela.
Sedangkan bid’ah itu sendiri dibagi lima: bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
Tapi ada hadits menyebut, “Semua bid’ah itu sesat”, apa maksudnya?
Imam an-Nawawi menjawab, Sabda Rasulullah Saw, “Semua bid’ah itu sesat”, ini kalimat yang bersifat umum, tapi dikhususkan. Maka maknanya, “Pada umumnya bid’ah itu sesat”.
Bid’ah Dibagi Lima:
Pendapat Imam al-‘Izz bin Abdissalam:
Bid’ah adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw.
Bid’ah terbagi kepada: wajib, haram, mandub (anjuran), makruh dan mubah.
Cara untuk mengetahuinya, bid’ah tersebut ditimbang dengan kaedah-kaedah syariat Islam.
- Jika bid’ah tersebut masuk dalam kaedah wajib, maka itu adalah bid’ah wajib.
- Jika masuk dalam kaedah haram, maka itu bid’ah haram.
- Jika masuk dalam kaedah mandub, maka itu bid’ah mandub.
- Jika masuk dalam kedah makruh, maka itu bid’ah makruh.
- Jika masuk dalam kaedah mubah, maka itu bid’ah mubah.
Contoh bid’ah wajib: pertama, sibuk mempelajari ilmu Nahwu (gramatikal bahasa Arab) untuk memahami al-Qur’an dan sabda Rasulullah Saw. Itu wajib karena untuk menjaga syariat itu wajib. Syariat tidak mungkin dapat dijaga kecuali dengan mengetahui bahasa Arab. Jika sesuatu tidak sempurna karena ia, maka ia pun ikut menjadi wajib. Contoh kedua, menghafal gharib (kata-kata asing) dalam al-Qur’an dan Sunnah. Contoh ketiga, menyusun ilmu Ushul Fiqh. Contoh keempat, pembahasan al-Jarh wa at-Ta’dil untuk membedakan shahih dan saqim (mengandung penyakit). Kaedah-kaedah syariat Islam menunjukkan bahwa menjaga syariat Islam itu fardhu kifayah pada sesuatu yang lebih dari kadar yang tertentu. Penjagaan syariat Islam tidak akan terwujud kecuali dengan menjaga perkara-perkara di atas.
Contoh bid’ah haram: mazhab Qadariyyah (tidak percaya kepada takdir), mazhab Jabariyyah (berserah kepada takdir), mazhab Mujassimah (menyamakan Allah dengan makhluk). Menolak mereka termasuk perkara wajib.
Contoh bid’ah mandub (anjuran): membangun prasarana jihad, membangun sekolah dan jembatan. Semua perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa generasi awal Islam. Diantaranya: shalat Tarawih, pembahasan mendetail tentang Tashawuf. Pembahasan ilmu debat dalam semua aspek untuk mencari dalil dalam masalah-masalah yang tujuannya untuk mencari ridha Allah Swt.
Contoh bid’ah makruh: hiasan pada masjid-masjid. Hiasan pada mush-haf al-Qur’an. Adapun melantunkan al-Qur’an sehingga lafaznya berubah dari kaedah bahasa Arab, maka itu tergolong bid’ah haram.
Contoh bid’ah mubah: bersalaman setelah selesai shalat Shubuh dan ‘Ashar. Menikmati yang nikmat-nikmat; makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, memakai jubah pakaian kebesaran dan melebarkan lengan baju. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian ulama menjadikan ini tergolong bid’ah makruh, sebagian lain menjadikannya tergolong ke dalam perbuatan yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw dan masa setelahnya, sama seperti isti’adzah (mengucapkan a’udzubillah) dan basmalah (mengucapkan bismillah) dalam shalat.
*Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz.II (Beirut: Dar al-Ma’arif), 172-174.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani Menyetujui Pembagian Bid’ah Menjadi Lima:
Bid’ah terkadang terbagi ke dalam hukum yang lima (wajib, mandub, haram, makruh dan mubah)68.
Jika Tidak Dilakukan Nabi, Maka Haram. Benarkah?
Yang selalu dijadikan dalil mendukung argumen ini adalah kaedah:
“Perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw, berarti mengandung makna haram”.
Tidak ada satu pun kitab Ushul Fiqh maupun kitab Fiqh memuat kaedah seperti ini. Kaedah ini hanya buatan sebagian orang saja.
Untuk menguji kekuatan kaedah ini, mari kita lihat beberapa contoh dari hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan suatu perbuatan, namun tidak selamanya karena perbuatan itu haram, tapi karena beberapa sebab:
Pertama, karena kebiasaan. Contoh:
Dari Khalid bin al-Walid, ia berkata, “Rasulullah Saw diberi Dhab (biawak Arab) yang dipanggang untuk dimakan. Lalu dikatakan kepada Rasulullah Saw, “Ini adalah Dhab”. Rasulullah Saw menahan tangannya.
Khalid bertanya, “Apakah Dhab haram?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak, tapi karena Dhab tidak ada di negeri kaumku. Maka aku merasa tidak suka”. Khalid memakan Dhab itu, sedangkan Rasulullah Saw melihatnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Apakah karena Rasulullah Saw tidak memakannya maka Dhab menjadi haram!? Dhab tidak haram. Rasulullah Saw tidak memakannya karena makan Dhab bukan kebiasaan di negeri tempat tinggal Rasulullah Saw.
Kedua, khawatir akan memberatkan ummatnya. Contoh:
Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw shalat di Masjid pada suatu malam, lalu orang banyak ikut shalat bersama beliau. Pada malam berikutnya orang banyak mengikuti beliau. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat, Rasulullah Saw tidak keluar rumah. Pada waktu paginya, Rasulullah Saw berkata, “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk keluar rumah menemui kalian, hanya saja aku khawatir ia diwajibkan bagi kalian”. Itu terjadi di bulan Ramadhan. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Swt tidak ke masjid setiap malam, apakah perbuatan ke masjid setiap malam itu haram?! Tentu saja tidak haram.
Mengapa Rasulullah Saw tidak melakukannya?!
Bukan karena perbuatan itu haram, tapi karena khawatir memberatkan ummat Islam.
Contoh lain:
“Kalaulah tidak memberatkan bagi ummatku, atau bagi manusia, pastilah aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat”. (HR. al-Bukhari).
Ketiga, tidak terlintas di fikiran Rasulullah Saw. Contoh:
Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, sudikah aku buatkan untuk engkau sesuatu? engkau duduk di atasnya. Sesungguhnya aku mempunyai seorang hamba sahaya tukang kayu”.
Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau mau”.
Perempuan itu membuatkan mimbar. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw tidak membuat mimbar, bukan berarti mimbar itu haram. Tapi karena tidak terlintas untuk membuat mimbar, sampai perempuan itu menawarkan mimbar. Lalu apakah karena Rasulullah Saw tidak membuatnya, maka mimbar menjadi haram?! Tentu saja tidak.
Keempat, karena Rasulullah Saw lupa. Contoh:
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat. Ibrahim berkata, ‘Saya tidak mengetahui apakah rakaat berlebih atau kurang. Ketika shalat telah selesai. Dikatakan kepada Rasulullah, “Apakah telah terjadi sesuatu dalam shalat?”.
Rasulullah Saw kembali bertanya, “Apakah itu?”.
Mereka menjawab, “Engkau telah melakukan anu dan anu”.
Kemudian Rasulullah Saw menekuk kedua kakinya dan kembali menghadap kiblat, beliau sujud dua kali. Kemudian salam. Ketika Rasulullah Saw menghadapkan wajahnya kepada kami, ia berkata, “Jika terjadi sesuatu dalam shalat, pastilah aku beritahukan kepada kamu. Tapi aku hanyalah manusia biasa, sama seperti kamu. Aku juga lupa, sama seperti kamu. Jika aku terlupa, maka ingatkanlah aku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw tidak melakukan, bukan karena haram. Tapi karena beliau lupa.
Kelima, karena khawatir orang Arab tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw. Contoh:
Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, pastilah aku perintahkan merenofasi Ka’bah. Aku akan masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya. Aku akan menempelkannya ke tanah. Aku buat dua pintu, satu di timur dan satu di barat, dengan itu aku sampaikan dasar Ibrahim”. (HR. al-Bukhari).
Rasululllah Saw tidak melakukan renofasi itu, bukan berarti haram. Tapi karena tidak ingin orang-orang Arab berbalik arah, tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw, karena mereka baru saja masuk Islam, hati mereka masih terikat dengan masa jahiliyah.
Keenam, karena termasuk dalam makna ayat yang bersifat umum, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (Qs. al-Hajj [22]: 77).
Rasulullah Saw tidak melakukannya, bukan berarti haram. Tapi masuk dalam kategori kebaikan yang bersifat umum. Jika perbuatan itu sesuai Sunnah, maka bid’ah hasanah. Jika bertentangan dengan Sunnah, maka bid’ah dhalalah.
“Jika Tidak Dilakukan Rasulullah Saw, Maka Haram”. Adakah Kaedah Ini?
Inilah yang dijadikan kaedah membuat orang mengharamkan yang tidak haram. Membid’ahkan yang tidak bid’ah.
Posting Komentar untuk "Ini Arti Bid’ah Menurut Para Ulama, Banyak Yang Salah Paham | Ceramah Ust.Abdul Somad Lc.M.A"